Rabu, 02 Januari 2013

KENANGAN KEMENANGAN


Kuposting di sini untuk menyemangati diri :) Aku pernah bisa jadi juara 1 di event ini, April 2012, dan tentu harus bisa lebih baik lagi ! Semangat...!


(Lomba Menulis Aksara Bermakna)
BATIK INDONESIA UNIK, CANTIK, MENARIK

           Melihat sekumpulan anak usia sekitar belasan tahun begitu bersemangat belajar membatik, membuat saya tersenyum dan kagum. Mereka begitu menikmati mengoleskan malam cair dari canting di atas selembar kain kecil sebesar saputangan. Saya sudah pernah merasakan membatik, dulu saat saya masih SMP dan ada pelajaran membatik di sekolah. Ya, saya merasakan membatik beneran, seperti yang dilakukan para perajin batik, tapi tentu tidak menggunakan kain panjang bermeter-meter.. Saya hanya membatik kain seukuran taplak meja. Saya ingat, dulu saya belum bisa menikmati proses membatik itu, karena prosesnya yang susah dan rumit. Pertama, kami harus menggambar di atas kain mori yang akan dibatik. Bisa digambar sendiri atau kalau saya waktu itu karena tidak bisa menggambar, maka saya ngeblat, menjiplak gambar. Setelah gambar pola jadi, kami akan menyiapkan peralatan membatik, gawangan untuk meyampirkan kain yang akan dibatik dan bandul  atau pemberat yang akan menjaga kain tidak mudah tergeser saat tertiup angin atau tangan sendiri. Saya kemudian duduk di dingklik (kursi kecil) dengan canting di tangan,  menyalakan anglo yang diatasnya ada wajan berisi malam (lilin) untuk membatik dan mulailah saya menorehkan malam ke kain dengan menggunakan canting. Canting adalah alat yang dipakai untuk memindahkan atau mengambil cairan malam, terbuat dari tembaga (kalau sekarang mulai banyak yang terbuat dari Teflon) dan bambu sebagai pegangannya. Proses ini sungguh rumit dan memerlukan ketelatenan. Membatik satu kain seukuran taplak meja saja bisa sebulan lamanya.
             Begitulah, konon sehelai kain batik tulis memerlukan waktu setidaknya empat bulan untuk diselesaikan. Saya pernah melihat proses rumitnya membatik ini waktu berkunjung ke pengrajin batik. Kerumitan itu tidak hanya sekedar penggambaran pola motif-motif batik yang sangat detail tapi juga mulai dari proses awal, ngemplong. Ngemplong ini adalah  mencuci kain mori. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kanji. Kemudian dilanjutkan dengan pengeloyoran, yaitu memasukkan kain mori ke minyak jarak yang sudah ada di dalam abu merang. Kain mori dimasukkan ke dalam minyak jarak agar kain menjadi lemas, sehingga daya serap terhadap zat warna lebih tinggi.
Setelah melalui proses di atas, kain diberi kanji dan dijemur. Selanjutnya, dilakukan proses pengemplongan, yaitu kain mori dipukul-pukul untuk menghaluskan lapisan kain dan agar seratnya siap menerima malam dan warna. Setelah selesai dibatik, juga ada proses pewarnaan yang harus dilakukan berulang-ulang.
             Menurut saya proses yang rumit inilah yang sebenarnya diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda. Jadi bukan benda-nya alias sehelai kain/baju batik yang unik dan cantik itu, tapi lebih jauh adalah budaya/proses membatik yang dilakukan pengrajin batik tulis Indonesia sejak jaman Majapahit. Seperti kita ketahui, bangsa kita pernah marah soal batik ini dan kemudian bisa tersenyum dan tertawa lega ketika  akhimya badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya (UNESCO) mengukuhkan batik sebagai warisan budaya dunia tak benda asli Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009, cikal bakal “Hari Batik” di Indonesia.
              Maestro batik Indonesia, Alm Bapak Iwan Tirta pernah mengemukakan bahwa secara harfiah “batik” adalah teknik menghias permukaan kain (tekstil) menggunakan metode menahan pewarna (dye resist), yang paling tua berasal dari Mesir pada abad ke-4 Sebelum Masehi dan dari Cina pada abad ke-8 Masehi. Banyak Negara yang bisa saja mengklaim bahwa mereka mempunyai batik, tapi batik mereka berbeda dengan batik Indonesia. Yang membedakan adalah penggunaan Canting. Canting ini semacam pena istimewa bagi pembatik Indonesia, yang bisa menghasilkan motif yang halus dan detail. Saya pernah membaca tulisan Ve Handojo, seorang blogger pecinta batik, bahwa di Malaysia, orang membatik menggunakan kuas, dan seniman-seniman batik di Negara lain tak satu pun yang menggunakan canting ini.
              Batik Indonesia juga menjadi istimewa karena nilainya yang melebihi sekedar bahan pakaian. Mulut saya sempat ternganga ketika mengetahui indahnya filosofi dibalik  motif batik Solo yang sempat dijelaskan oleh pengrajin batik, seperti motif Sido Mukti yang mengandung makna kemakmuran, Sido Luhur, bermakna keluhuran, Udan Liris bermakna ketabahan dalam menjalani hidup yang prihatin, tahan menghadapi hujan dan panas, motif truntum bermakna cinta yang tumbuh kembali, simbol cinta yang tulus tanpa syarat, abadi, dan semakin lama terasa semakin subur berkembang (tumaruntum). Motif ini dipakai orang tua pengantin dengan harapan agar cinta kasih yang tumoruntum ini akan menghinggapi kedua mempelai. Kadang dimaknai pula bahwa orang tua berkewajiban untuk “menuntun” kedua mempelai untuk memasuki kehidupan baru.
             Cara pemakaian batik pada upacara adat di Jawa Tengah juga memiliki nilai pendidikan tersendiri. Bagi anak-anak, batik dipakai dengan cara sabuk wolo. Pemakaian jenis ini memungkinkan anak-anak untuk bergerak bebas. Secara filosofi, pemakaian sabuk wolo diartikan bebas moral, sesuai dengan jiwa anak-anak yang masih bebas, belum dewasa, dan belum memiliki tanggung jawab moral di dalam masyarakat. Ketika beranjak remaja, seseorang tidak lagi mengenakan batik dengan cara sabuk wolo melainkan dengan jarit. Panjang jarit yang dipakai memiliki arti tersendiri. Semakin panjang jarit, semakin tinggi derajat seseorang dalam masyarakat, dan semakin pendek jarit, semakin rendah pula strata sosial orang tersebut dalam masyarakat. Bagi orang dewasa, pemakaian batik memiliki pakem yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-laki, wiru diletakkan di sebelah kiri. Sedangkan pada perempuan, wiru diletakkan di sebelah kanan, yang berarti nengeni, seorang putri tidak boleh melanggar kehendak suami.
              Akhirnya, memang saya patut berbangga dan cinta pada budaya bangsa Indonesia yang kaya ini. Kebanggaan dan kecintaan yang ingin bisa saya tularkannya kepada kedua anak saya. Saya bangga mereka sudah mulai mengenal dan mau mengenakan busana batik sejak masih balita, tetapi pengakuan  UNESCO yang telah menyetujui batik sebagai warisan budaya tak benda kemanusiaan (Intangible Cultural Heritage) yang dihasilkan oleh Indonesia, tentu bukan sekedar dirayakan dengan mengenakan baju batik semata. Masih banyak yang harus kita lakukan untuk kelestarian warisan budaya ini. Itulah kenapa saya tersenyum ketika semakin banyak wisata batik, workshop atau pelatihan membatik yang diadakan seperti misalnya di  museum tekstil Jakarta, dan  Museum Batik Nasional yang berada di JI. Jetayu No. 3, Pekalongan. Berkunjung ke museum batik di Pekalongan memberi kesempatan pada kita untuk menambah pengetahuan yang ingin kita ketahui tentang batik. Museum ini telah menjadi salah satu aset nasional dan dikelola langsung oleh pemerintah pusat dan bukan milik Pemda Pekalongan. Menurut statistik data pengunjung, rata-rata per bulan terdapat sekitar 150 orang pengunjung dan sebagian merupakan wisatawan asing. Di museum ini terdapat 4 ruang pamer, perpustakaan, dan ruang peraga.
Ruang pamer utama menampilkan gambaran umum batik, bahan pembuatnya, dan aneka batik kuno, baik dari Indonesia maupun batik luar yang menurut ceritanya didatangkan dari India. Ruang pamer kedua merupakan ruang batik Nusantara. Di sini ditampilkan batik khas dari daerah di seluruh Indonesia. Ruang pamer ketiga adalah ruang interior batik, menampilkan perangkat interior rumah dengan bahan dasar batik. Terdapat juga batik koleksi seorang warga negara Australia bernama Digby Mackintosh yang dihibahkan kepada Museum Batik Pekalongan. Ruang pamer yang terakhir adalah ruang IwanTirta, berisi bermacam-macam kain batik hasil karya Iwan Tirta, seorang desainer Indonesia yang memiliki kecintaan pada batik.
         Batik memang tak hanya milik suku tertentu di Indonesia, bahkan  di Jawa saja ada banyak daerah sentra batik seperti Solo, Jogyakarta, Pekalongan, Kebumen, Cirebon, Garut, Banyumas, Tulungagung, dan masih banyak lagi. Begitu juga hampir di seluruh daerah di Indonesia kita memiliki batik Bengkulu, Jambi, Pontianak, Bali. Sungguh betapa kayanya budaya batik Indonesia yang harus terus kita hidupkan dan kembangkan. Pada Malam Budaya yang menjadi acara puncak World Batik Summit 2011, September lalu telah memberikan penghargaan bagi sejumlah pembatik yang sudah berdedikasi sepanjang hidupnya dengan membatik, seperti Ny Prawiro (85) dari Klaten dan Ny Pariyem (81) dari Sukoharjo. Ya, mereka di usia senjanya masih setia dan cinta pada batik. Semoga keberadaan museum, sentra batik dan makin banyaknya wisata batik yang memberi kesempatan pada kita yang masih muda ini untuk belajar membatik akan semakin membuat kita menghargai, bangga dan cinta pada batik Indonesia yang unik, cantik dan selalu menarik karena kekayaan cerita dalam penciptaannya atau tingginya filosofi dalam motif-motifnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar