Kuposting di sini untuk menyemangati diri :) Aku pernah bisa jadi juara 1 di event ini, April 2012, dan tentu harus bisa lebih baik lagi ! Semangat...!
(Lomba
Menulis Aksara Bermakna)
BATIK
INDONESIA
UNIK, CANTIK, MENARIK
Oleh
: Murti Yuliastuti
Melihat sekumpulan anak usia sekitar
belasan tahun begitu bersemangat belajar membatik, membuat saya tersenyum dan
kagum. Mereka begitu menikmati mengoleskan malam
cair dari canting di atas selembar kain kecil sebesar saputangan. Saya sudah
pernah merasakan membatik, dulu saat saya masih SMP dan ada pelajaran membatik
di sekolah. Ya, saya merasakan membatik beneran, seperti yang dilakukan para
perajin batik, tapi tentu tidak menggunakan kain panjang bermeter-meter.. Saya
hanya membatik kain seukuran taplak meja. Saya ingat, dulu saya belum bisa
menikmati proses membatik itu, karena prosesnya yang susah dan rumit. Pertama,
kami harus menggambar di atas kain mori yang akan dibatik. Bisa digambar
sendiri atau kalau saya waktu itu karena tidak bisa menggambar, maka saya ngeblat, menjiplak gambar. Setelah
gambar pola jadi, kami akan menyiapkan peralatan membatik, gawangan untuk meyampirkan kain yang akan dibatik dan bandul
atau pemberat yang akan menjaga kain tidak mudah tergeser saat tertiup
angin atau tangan sendiri. Saya kemudian duduk di dingklik (kursi kecil) dengan canting
di tangan, menyalakan anglo yang diatasnya ada wajan berisi malam (lilin) untuk membatik dan mulailah
saya menorehkan malam ke kain dengan menggunakan canting. Canting adalah alat yang dipakai untuk memindahkan atau
mengambil cairan malam, terbuat dari
tembaga (kalau sekarang mulai banyak yang terbuat dari Teflon) dan bambu
sebagai pegangannya. Proses ini sungguh rumit dan memerlukan ketelatenan.
Membatik satu kain seukuran taplak meja saja bisa sebulan lamanya.
Begitulah, konon sehelai kain
batik tulis memerlukan waktu setidaknya empat bulan untuk diselesaikan. Saya
pernah melihat proses rumitnya membatik ini waktu berkunjung ke pengrajin
batik. Kerumitan itu tidak hanya sekedar penggambaran pola motif-motif batik
yang sangat detail tapi juga mulai dari proses awal, ngemplong. Ngemplong ini adalah
mencuci kain mori. Tujuannya adalah untuk menghilangkan kanji. Kemudian
dilanjutkan dengan pengeloyoran, yaitu memasukkan kain mori ke minyak jarak
yang sudah ada di dalam abu merang. Kain mori dimasukkan ke dalam minyak jarak
agar kain menjadi lemas, sehingga daya serap terhadap zat warna lebih tinggi.
Setelah melalui proses di atas,
kain diberi kanji dan dijemur. Selanjutnya, dilakukan proses pengemplongan,
yaitu kain mori dipukul-pukul untuk menghaluskan lapisan kain dan agar seratnya
siap menerima malam dan warna. Setelah selesai dibatik, juga ada proses
pewarnaan yang harus dilakukan berulang-ulang.
Menurut saya proses yang rumit
inilah yang sebenarnya diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda.
Jadi bukan benda-nya alias sehelai
kain/baju batik yang unik dan cantik itu, tapi lebih jauh adalah budaya/proses
membatik yang dilakukan pengrajin batik tulis Indonesia sejak jaman Majapahit.
Seperti kita ketahui, bangsa kita pernah marah soal batik ini dan kemudian bisa
tersenyum dan tertawa lega ketika
akhimya badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya
(UNESCO) mengukuhkan batik sebagai warisan
budaya dunia tak benda asli Indonesia pada tanggal 2 Oktober 2009, cikal
bakal “Hari Batik” di Indonesia.
Maestro batik Indonesia, Alm
Bapak Iwan Tirta pernah mengemukakan bahwa secara harfiah “batik” adalah teknik
menghias permukaan kain (tekstil) menggunakan metode menahan pewarna (dye
resist), yang paling tua berasal dari Mesir pada abad ke-4 Sebelum Masehi dan
dari Cina pada abad ke-8 Masehi. Banyak Negara yang bisa saja mengklaim bahwa
mereka mempunyai batik, tapi batik mereka berbeda dengan batik Indonesia.
Yang membedakan adalah penggunaan Canting.
Canting ini semacam pena istimewa bagi pembatik Indonesia, yang bisa menghasilkan
motif yang halus dan detail. Saya pernah membaca tulisan Ve Handojo, seorang
blogger pecinta batik, bahwa di Malaysia,
orang membatik menggunakan kuas, dan seniman-seniman batik di Negara lain tak
satu pun yang menggunakan canting ini.
Batik Indonesia juga menjadi istimewa
karena nilainya yang melebihi sekedar bahan pakaian. Mulut saya sempat
ternganga ketika mengetahui indahnya filosofi dibalik motif batik Solo yang sempat dijelaskan oleh
pengrajin batik, seperti motif Sido Mukti
yang mengandung makna kemakmuran, Sido
Luhur, bermakna keluhuran, Udan Liris
bermakna ketabahan dalam menjalani hidup yang prihatin, tahan menghadapi hujan
dan panas, motif truntum bermakna
cinta yang tumbuh kembali, simbol cinta yang tulus tanpa syarat, abadi, dan
semakin lama terasa semakin subur berkembang (tumaruntum). Motif ini dipakai
orang tua pengantin dengan harapan agar cinta kasih yang tumoruntum ini akan
menghinggapi kedua mempelai. Kadang dimaknai pula bahwa orang tua berkewajiban
untuk “menuntun” kedua mempelai untuk memasuki kehidupan baru.
Cara pemakaian
batik pada upacara adat di Jawa Tengah juga memiliki nilai pendidikan
tersendiri. Bagi anak-anak, batik dipakai dengan cara sabuk wolo. Pemakaian
jenis ini memungkinkan anak-anak untuk bergerak bebas. Secara filosofi,
pemakaian sabuk wolo diartikan bebas moral, sesuai dengan jiwa anak-anak yang
masih bebas, belum dewasa, dan belum memiliki tanggung jawab moral di dalam
masyarakat. Ketika beranjak remaja, seseorang tidak lagi mengenakan batik
dengan cara sabuk wolo melainkan dengan jarit. Panjang jarit yang dipakai
memiliki arti tersendiri. Semakin panjang jarit, semakin tinggi derajat
seseorang dalam masyarakat, dan semakin pendek jarit, semakin rendah pula
strata sosial orang tersebut dalam masyarakat. Bagi orang dewasa, pemakaian
batik memiliki pakem yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Pada
laki-laki, wiru diletakkan di sebelah kiri. Sedangkan pada perempuan, wiru
diletakkan di sebelah kanan, yang berarti nengeni, seorang putri tidak boleh melanggar
kehendak suami.
Akhirnya, memang saya patut berbangga dan
cinta pada budaya bangsa Indonesia
yang kaya ini. Kebanggaan dan kecintaan yang ingin bisa saya tularkannya kepada
kedua anak saya. Saya bangga mereka sudah mulai mengenal dan mau mengenakan
busana batik sejak masih balita, tetapi pengakuan UNESCO yang telah menyetujui batik sebagai
warisan budaya tak benda kemanusiaan (Intangible Cultural Heritage)
yang dihasilkan oleh Indonesia, tentu bukan sekedar dirayakan dengan mengenakan
baju batik semata. Masih banyak yang harus kita lakukan untuk kelestarian
warisan budaya ini. Itulah kenapa saya tersenyum ketika semakin banyak wisata
batik, workshop atau pelatihan membatik yang diadakan seperti misalnya di museum tekstil Jakarta, dan
Museum Batik Nasional yang berada di JI. Jetayu No. 3, Pekalongan.
Berkunjung ke museum batik di Pekalongan memberi kesempatan pada kita untuk
menambah pengetahuan yang ingin kita ketahui tentang batik. Museum ini telah
menjadi salah satu aset nasional dan dikelola langsung oleh pemerintah pusat
dan bukan milik Pemda Pekalongan. Menurut statistik data pengunjung, rata-rata
per bulan terdapat sekitar 150 orang pengunjung dan sebagian merupakan
wisatawan asing. Di museum ini terdapat 4 ruang pamer, perpustakaan, dan ruang
peraga.
Ruang pamer utama menampilkan
gambaran umum batik, bahan pembuatnya, dan aneka batik kuno, baik dari Indonesia maupun batik luar yang menurut
ceritanya didatangkan dari India.
Ruang pamer kedua merupakan ruang batik Nusantara. Di sini ditampilkan batik
khas dari daerah di seluruh Indonesia.
Ruang pamer ketiga adalah ruang interior batik, menampilkan perangkat interior
rumah dengan bahan dasar batik. Terdapat juga batik koleksi seorang warga
negara Australia
bernama Digby Mackintosh yang dihibahkan kepada Museum Batik Pekalongan. Ruang
pamer yang terakhir adalah ruang IwanTirta, berisi bermacam-macam kain batik
hasil karya Iwan Tirta, seorang desainer Indonesia yang memiliki kecintaan
pada batik.
Batik memang tak hanya milik suku
tertentu di Indonesia, bahkan di Jawa
saja ada banyak daerah sentra batik seperti Solo, Jogyakarta, Pekalongan,
Kebumen, Cirebon, Garut, Banyumas, Tulungagung, dan masih banyak lagi. Begitu
juga hampir di seluruh daerah di Indonesia
kita memiliki batik Bengkulu, Jambi, Pontianak, Bali. Sungguh betapa kayanya budaya batik Indonesia
yang harus terus kita hidupkan dan kembangkan. Pada Malam Budaya yang menjadi
acara puncak World Batik Summit 2011, September lalu telah memberikan
penghargaan bagi sejumlah pembatik yang sudah berdedikasi sepanjang hidupnya
dengan membatik, seperti Ny Prawiro (85) dari Klaten dan Ny Pariyem (81) dari
Sukoharjo. Ya, mereka di usia senjanya masih setia dan cinta pada batik. Semoga
keberadaan museum, sentra batik dan makin banyaknya wisata batik yang memberi
kesempatan pada kita yang masih muda ini untuk belajar membatik akan semakin
membuat kita menghargai, bangga dan cinta pada batik Indonesia yang unik,
cantik dan selalu menarik karena kekayaan cerita dalam penciptaannya atau tingginya
filosofi dalam motif-motifnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar