Rabu, 31 Juli 2013

CERI CERIA


Sudah dua minggu Anggita bersekolah TK. TK yang sama dengan si Mas, Rangga, 7 tahun lalu. Pohon ceri favorit kami masih ada. Ya, pohon ceri yang dulu selalu menggoda Rangga dan saya untuk berhenti, karena buah-buah kecilnya yang merah dan rasanya manis.
         Bertahun lalu, saat ada kesempatan mengantar dan menjemput Rangga, saya selalu berhenti di bawah pohon ceri, mendongak dan mencari-cari ceri merah yang ada.
Saat Rangga kecil, sayalah yang berusaha meraih buah ceri merah itu, sementara Rangga menunggu sambil terus menunjuk dan memotivasi saya untuk bisa meraihnya. Ia akan bersorak dan tertawa ceria saat saya berhasil. Buah merah yang berisi beberapa ribu biji super kecil, halus, putih kekuningan; terbenam dalam daging dan sari buah yang terasa manis itu sangat disukai Rangga. Ketika Rangga semakin besar, dia pun berusaha untuk memetiknya sendiri, bisa dengan meloncat untuk meraihnya, atau bahkan memanjatnya. Saya mengawasinya dari bawah sambil mengarahkan dan menyemangati. Pohon ini juga yang bikin Rangga senang sekolah waktu TK, Kalau dia agak malas berangkat, cukup diiming-imingi “nanti kita metik ceri lagi” dan yuhuu melesatlah si mas ini ke sekolah. Rangga dan teman-teman cowoknya suka memetik buah ceri saat istirahat atau pulang sekolah. Berkat pohon ceri juga Rangga jadi bisa memanjat pohon, dan psst...inilah pohon yang pertama kali saya panjat di usia kepala empat demi menyenangkan Rangga


Teman main Rangga yang mengenalkan ceri pada Rangga. "Mama, lihat aku tadi dikasih buah ceri sama Ninu" katanya sambil memperlihatkan buah merah kecil itu. Buah ceri ? saya mengernyit dan tersenyum, oh, ini sih kersen, kok ceri sih...Ups, ternyata di Depok, anak-anak menyebut kersen dengan nama ceri.